Oleh : Lalu Muhammad Fauzi
Matematika ditinjau dari objeknya, jelas bukan benda yang
kongkrit tetapi berupa benda pikiran yang abstrak. Objek matematika yang
abstrak diklasifikasikan menjadi fakta, konsep, operasi, dan prinsip (Bagle. 1985: 10).
1.
Fakta
(Facts)
Apabila kita
mengatakan “tiga”, dengan sendirinya tergambar symbol “3”. Sebaliknya bila kita
melihat symbol “3” dengan sendirinya pula kita memadankan dengan kata “tiga”.
Kaitan antara kata “tiga” dan simbol “3” merupakan fakta. Demikian pula halnya
degan rangkaian kata “dua tambah tiga” dengan simbol “2 + 3” merupakan fakta.
Kedua hal tersebut merupakan contoh fakta yang sederhana atau jenis fakta yang
pertama.
Lain halnya dengan
“3 x 4 = 12”, yang juga merupakan fakta, akan tetapi fakta ini dapat
disimpulkan atau diturunkan dari fakta lain. Misalnya “4 + 4 + 4 = 12’, atau
“(2 x 4) + (1 x 4) = 8 + 4 = 12”. Hal ini merupakan contoh fakta yang lain atau
jenis fakta yang kedua.
2.
Konsep
(Concepts)
Kita perhatikan
kembali kata “tiga”. Sesungguhnya “tiga” itu sendiri sudah menunjukkan suatu
konsep. Secara matematika pengertian “tiga” itu diabstraksikan dari adanya
ekivalensi antara himpunan-himpunan. Begitu halnya dengan “satu”, “dua”,
“empat”, dan seterusnya. Bagaimana halnya dengan “bilangan asli”. Ini juga
suatu konsep, namun ia tersusun dari konsep-konsep lain yang lebih sederhana,
yaitu “satu”, “dua”, “tiga”, “empat”, dan seterusnya (yang dimaksudkan adalah
bilangannya, bukan tulisannya).
Dalam matematika
sangat banyak konsep, misalnya “segitiga”, “bujursangkar”, “fungsi”, “matriks”,
“vector”, dan sebagainya. Konsep-konsep ini pada umumnya disusun dari
konsep-konsep dan fakta-fakta terdahulu. Untuk menujukkan suatu konsep
digunakan “definisi” atau “batasan”. Seseorang dikatakan telah mengerti suatu
konsep, misalnya “segitiga”, bila ia sudah dapat membedakan antara segitiga dan
yang bukan segitiga.
3.
Operasi
(Operation)
Telah dikemukakan
di atas bahwa adanya ikatan antara simbol “2 + 3” dengan rangkaian kata “dua
tambah tiga” sebagai fakta. Apa arti simbol “+” itu sendiri? Bila kita
perhatikan, maka “+” berfungssi mengaitkan bilangan “2” dan “3” sehingga
diperoleh bilangan “5” (dalam lingkup atau semesta yang sudah dikenal). Dalam
hal ini “+” merupakan salah satu simbol operasi. Demikian juga dengan simbol
“-“, “x”, “:” yang sudah dikenal. Jadi dapat dikatakan operasi adalah fungsi
yang mengaitkan antara objek-objek matematika. Selain itu dikenal juga berbagai
simbol operasi yang lain, baik yang sudah dibakukan maupun yang kita buat
sendiri.
4.
Prinsip
(Principle)
Kita perhatikan
pernyataan “melalui satu titik di luar suatu garis lurus hanya dapat ditarik
tepat satu garis yang tegak lurus dengan garis tersebut”. Ini salah satu contoh
“prinsip” dalam geometri Euclides. Demikian pula pernyataan “jumlah dua
bilangan ganjil adalah genap”, merupakan salah satu contoh “prinsip” dalam aritmetika. Dengan demikian terlihat
bahwa prinsip menyatakan hubungan antara dua atau lebih objek matematika. Objek
yang dihubungkan itu dapat berupa fakta, operasi, atau prinsip yang lain.
Prinsip-prinsip ini dapat berupa aksioma atau teorema.
Dari uraian di atas dapatlah dikemukakan bahwa objek
matematika itu adalah abstrak. Ia hanya ada dalam pemikiran manusia. Kita tidak
pernah dapat melihat dan meraba bilangan satu, kita tidak dapat melihat atau
meraba garis lurus sebagaimana dimaksud dalam geometri Euclides. Apa yang kita
amati dengan mata hanyalah simbolnya atau gambarnya saja.
Matematika dilihat dari bahasanya, selalu mempergunakan
istilah-istilah yang didefinisikan dengan tepat dan ketat. Karena itu, di dalam
matematika tidak akan ada istilah yang mendua arti dan
juga menggunakan berbagai macam simbol atau lambang, sehingga sering dikatakan
bahasa matematika adalah bahasa simbol. Simbol-simbol yang digunakan dalam
matematika, banyak yang sudah diberi arti khusus, namun banyak pula yang masih
“kosong dari arti”. Simbol-simbol yang sudah diberi arti telah dibakukan
sehingga sama artinya di mana saja di dunia ini.
Sedangkan simbol-simbol yang masih kosong
dalam arti, kita dapat memberi arti tertentu sesuai dengan lingkup atau
semestanya. Misalnya x + y = 1, dalam hal ini x dan y masih kosong dari arti.
Simbol (x,y), pasangan simbol x dan y ini masih kosong dalam arti. Apabila
simbol itu dipakai dalam lingkup geometri analitik bidang, dapat berarti
koordinat atau posisi suatu titik, misalnya titik (2,3); (5,8); dan sebagainya.
Sedangkan di dalam aljabar dapat juga diberi arti bilangan kompleks x + yi yang mungkin berarti 2 + 3i; 5 +
8i dan sebagainya. Dengan adanya simbol-simbol matematika yang masih kosong
dari arti, memberi peluang yang besar kepada matematika untuk digunakan di
berbagai bidang ilmu dan kehidupan nyata.
Keberadaan matematika dewasa ini, dapat dipandang sebagai
kumpulan berbagai struktur deduktif. Suatu struktur berpola deduktif diawali
dengan penerimaan beberapa istilah yang tidak didefinisikan (undefined terms)
yang biasa disebut “unsur primitif”. Di dalam geometri, misalnya “titik”,
“garis”, dan “bidang” adalah unsur-unsur primitif. Kemudian dengan unsur-unsur primitif itu
dibuat aksioma atau postulat yang menyatakan saling berhubungan di antara
unsur-unsur primitif tersebut. Misalnya “dua titik berbeda menentukan sebuah
garis”. Setelah itu dibuat istilah-istilah yang didefinisikan atas dasar
unsur-unsur primitif dan aksioma-aksiomanya. Akhirnya diperoleh teorema-teorema
yang dibuktikan dengan menggunakan istilah-istilah yang didefinisikan dan
aksioma-aksioma tersebut.
Adapun aksioma itu berupa pernyataan tertentu yang dapat
diterima tanpa bukti (self evident truth),
tetapi boleh juga berupa pernyataan yang disepakati dan dapat menghasilkan
pernyataan-pernyataan lain secara logik (non
self evident truth).7 Aksioma-aksioma itu
selalu sifatnya umum dan kemudian diturunkan hingga diperoleh sifat-sifat
khusus. Karena itu struktur matematika disebut berpola deduktif dan ini
merupakan satu-satunya pola pikir yang diterima dalam matematika. Walaupun
kenyataan menunjukkan banyak teorema di dalam matematika pada awalnya ditemukan
secara intuitif atau induktif (ibid, 2007: 17). Akan tetapi
teorema yang diperoleh secara induktif itu, selanjutnya harus ditunjukkan bukti
kebenarannya secara deduktif formal. Misalnya: jumlah dua bilangan ganjil
adalah genap, ini dapat dibuktikan dengan pola deduktif.
Jujun (1992: 172) menyatakan bahwa matematika merupakan salah
satu puncak kegemilangan intelektual. Ciri utama matematika adalah metode dalam
penalaran (reasoning). Menalar secara
induksi dan analogi menumbuhkan pengamatan dan bahkan percobaan, untuk memperoleh
fakta yang dapat dipakai sebagai dasar argumentasi. Karena deduksi menghasilkan
kesimpulan yang dapat dippercaya seperti fakta yang mendasarinya, maka
penerapan proses ini kepada fakta-fakta yang kebenaranya telah diketahui akan
menghasilkan kebenaran baru. Kebenaran baru ini kemudian dapat dipakai kembali
sebagai premis untuk suatu argumentasi deduktif yang lain.
Matematika sebagai bahan pelajaran yang diajarkan di sekolah
adalah matematika sekolah. Matematika sekolah menurut Soedjadi adalah unsur-unsur
atau bagian-bagian matematika yang dipilih atas dasar atau berorientasi kepada:
a) makna kependidikan yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian
peserta didik, dan b) tuntutan perkembangan yang nyata dari lingkungan hidup
yang senantiasa berkembang seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan matematika
adalah matematika sekolah yang memiliki objek, yaitu fakta, konsep, operasi,
dan prinsip yang sifatnya abstrak serta penalarannya deduktif.
DAFTAR PUSTAKA
Hudoyo, Herman. 1988. Mengajar
Belajar Matematika. Jakarta: Depdiknas.
Witherington, H. C., W. H. Burton, Bapensi. 1986. Teknik-teknik Belajar dan Mengajar.
Bandung: Jemmars.
The Liang Gie. 1988. Cara
Belajar yang Efesien. Yogyakarta: Pusat Kemajuan Studi.
Nana Sudjana. 1990. Teori-teori
Belajar untuk Pengajaran. Jakarta. FEUI.
Slameto. 1991. Belajar
dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Bagle. 1985. “Critical
variable in Mathematics Education” dikutip
tidak langsung oleh Soedjadi, “Mencari Strategi Pengelolaan Pendidikan
Matematika Menyongsong Tinggal Landas Pembangunan Indonesia 1985”, makalah
disampaikan pada Pidato Pengukuhan, Surabaya.
Jujun S. Suriasumantrai. 1992. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Oemar Hamalik. 1990. Metode
Belajar dan Kesulitan-kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito.
I Gusti Ngurah Agung. 1993. Matematika untuk Ilmu Pengetahuan Sosial, makalah disajikan dalam
konferensi matematika. Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar